Menjadi Manusia Wajar

Menjadi Manusia Wajar

Oleh: Bhante Sri Pannavaro Mahathera.

Bagi seekor ayam, sebutir jagung akan mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada sebutir permata, karena ayam sama sekali tidak akan mengerti harga sebutir permata. Ayam tidak pernah berkelahi

saling berebut permata, tetapi sering mereka berkelahi berebut jagung.

Demikian pula kita. Sering kali kita tidak menghargai nilai-nilai luhur dalam kemanusiaan dan

kehidupan ini. Bahkan nilai-nilai luhur itu seolah-olah tidak ada harganya, persis seperti ayam melihat bahwa permata hanyalah sebagai batu yang tidak enak dimakan. Sebaliknya, kita memberikan harga yang tinggi pada segala macam yang tampak. Tidak jarang manusia bertengkar, saling memaki,

berkelahi, saling membunuh untuk memperebutkan kedudukan dan materi. Kalau kita dengan jujur, dengan terus terang membandingkan dengan ayam, dalam hal ini terlihat bahwa manusia-manusia menjadi lebih rendah dari ayam. Di dunia ini tidak pernah terjadi ayam bertarung sampai mati karena berebut makanan. Pada umumnya, kalau yang merasa kalah, dia lari saja.Inilah anehnya, inilah ironisnya. Manusia rela mati untuk makanan, berani membunuh untuk kedudukan pribadi, mau menderita untuk satu gengsi. Bukankah hidup kita dan hidup orang lain, bahkan hidup mahluk lain itu, sangat berharga? Kehidupan adalah sesuatu yang lebih berharga dari pada segala-

galanya.Sekarang apakah yang menjadi tuntutan dan tantangan kita? Tantangan kita adalah; di tengah- tengah majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang juga sudah menjadi kebutuhan Yang tidak bisa di elakkan, kita harus menjadi manusia yang wajar. Kalau kita hanya puas dengan cukup makan,, cukup pakaian, ada tempat tinggal, sedikit obat-obatan dan sedikit uang, tanpa perlu mencapai nilai-

nilai kehidupan yang luhur, memang ini kelihatannya hidup sederhana. Tetapi, nilainya hanya setara dengan binatang. Belum menjadi manusia yang wajar. Apalagi kalau makanan, pakaian, tempat

tinggal, uang, kekayaan, dan kedudukan yang dicari berlebih-lebihan. Kalau uang, tempat tinggal, dan kedudukan tidak dimengerti sebagai sarana hidup, tidak dianggap sebagai sarana untuk mengabdi menjadi manusia yang baik, melainkan dijadikan tujuan hidup untuk dapat memiliki sebanyak-

banyaknya, maka segala bentuk kejahatan dapat dilakukan dalam upaya mendapatkan semua itu. Nilai kehidupan seperti ini tidak lagi setara dengan binatang, tetapi bahkan lebih rendah daripada bintang.

Bagaimana manusia wajar itu? Apakah nilai-nilai luhur itu? Sementara orang berpendapat, bukankah kita semua ini manusia wajar? Kita berdiri di atas dua kaki, tidak merangkak seperti hewan, tidak bermoncong atau berparuh, tidak berbulu lebat. Kita bisa berkomunikasi dan berpakaian. Bukankah kita semua ini sudah menjadi manusia yang wajar?

Kata manusia berasal dari kata mana dan ussa. Mana artinya ‘batin’ atau ‘pikiran’. Ussa artinya luhur atau tinggi. Jadi kata manusia mempunyai arti: mahluk yang mempunyai batin tinggi atau mahluk yang bisa mengembangkan batinnya, pikirannya, mencapai keluhuran. Dengan demikian, menurut arti katanya, maka manusia yang berusaha membawa dirinya mencapai nilai-nilai yang lebih tinggi, itulah manusia yang wajar. Tinjauan ini menyadarkan kita bahwa tanpa adanya usaha membawa diri mencari nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi, martabat manusia menjadi melenceng dari sebutan ‘manusia’ yang disandangnya itu.

Sumber : https://tisarana.net/ceramah/menjadi-manusia-wajar-oleh-bhante-sri-pannavaro-mahathera/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *